
What is Hope, Exactly ?
Oleh : Meianita Sipayung
Kondisi pandemik yang tak kunjung usai telah membuat banyak rencana-rencana kita menjadi tertunda atau gagal, tantangan semakin berat, dan membuat hidup kita begitu susah. Dalam keadaan yang demikian, apa harapan terbesar dalam diri kita? Tentu saja kita berharap agar bebas dari semua kesusahan yang ada, bukan? Normalnya itulah yang kita harapkan. Namun, sebagai pengikut Kristus kita perlu kembali bertanya pada diri kita,
mengapa kita berharap agar bebas dari segala kesusahan yang ada? Apakah pengharapan tersebut didorong oleh natur diri yang cenderung tidak suka menjalani proses? Atau didorong oleh natur diri yang tidak sabar dan natur diri yang tidak suka merasakan ‘pain’? Lalu bagaimana kita mengaitkan hal ini dengan bagian firman yang menyatakan bahwa di dalam segala sesuatu Tuhan bekerja?
Inilah yang menjadi problem kita; fokus pada diri sendiri dan tidak fokus pada “Tuhan yang bekerja”. Akibatnya, kita tidak merespons situasi yang ada dengan respons yang benar dan tepat, sebagaimana mestinya pengikut Kristus merespons.
Di tengah realita hidup yang beraneka macam, ‘jatuh bangun’ memang tidak terhindarkan. Dinamika hidup seringkali mempengaruhi dinamika iman kita, bahkan mungkin sempat membawa kita kepada kondisi ‘krisis iman’ atau ‘hopeless’. Akan tetapi, kita bersyukur kepada Tuhan karena kita jatuh tidak sampai meninggalkan Tuhan (Mazmur 37:24). Dalam hal ini bukan berarti kita memiliki kemampuan untuk menjaga iman itu, tapi Tuhan lah yang menjaga iman kita. Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur” (Lukas 22:32). Tuhan Yesus yang telah mengalami begitu banyak penderitaan terus mendoakan kita yang mengalami penderitaan di bumi. Tuhan Yesus hadir mendampingi setiap kita melalui kehadiran Roh Kudus. Inilah yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus sebelum Ia meninggalkan murid-murid yang Ia kasihi. Di samping itu, Tuhan Yesus juga memberitahukan kepada murid-murid bahwa mereka tidak akan bebas dari segala penderitaan, kesusahan hidup, penganiayaan, dan lain sebagainya. Tapi, di dalam semua kondisi itu, Ia berjanji akan menyertai. Di sini kita dapat mengerti bahwa iman terhadap janji-janji Allah menjadi point penting di dalam pengharapan kita. Tentu pengharapan yang dimaksud tidak bersifat mudah-mudahan, tetapi suatu kepastian tentang apa yang akan terjadi, sebab Allah sendiri yang mengatakannya melalui FirmanNya. Oleh karena itu,
kita dapat memahami bahwa dasar pengharapan pengikut Kristus yang sejati tidak terletak pada kehendak diri yang ingin segera bebas dari segala kesusahan hidup, melainkan pada kehendak Allah dan janji-janjiNya”.
Di samping itu, Paulus dalam 1 Kor 15:19 mengatakan, “Jika pengharapan kita di dalam Kristus hanya untuk hidup ini saja, kita adalah orang-orang yang paling malang dari semua manusia”. Secara tersirat sebenarnya Paulus ingin mengatakan bahwa pengharapan orang percaya bukan hanya untuk hidup di dunia ini, melainkan untuk hidup di masa yang akan datang. Dalam hal ini pengharapan erat kaitannya dengan eskatologi, yaitu waktu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Di sini Paulus memberikan pengajaran tentang bagaimana Allah menggenapi rencana kekalNya bagi manusia berdosa. Bahwa melalui kedatangan Kristus yang pertama kali, rencana kekal Allah telah digenapi, namun belum disempurnakan. Sebab kesempurnaan akan terjadi pada saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Secara teologis kita dapat melihat bahwa kita sedang berada di waktu, “sudah, dan belum”. Artinya, sudah digenapi, tapi belum disempurnakan. Di tengah-tengah waktu “sudah, dan belum”, Tuhan memberikan anugerah kepada para pengikutNya untuk mencicipi “kenikmatan hidup” di dalam kerajaan Allah. Kehidupan di mana Allah yang memerintah dan memimpin. Kehidupan seperti ini memang tidak mudah untuk kita jalani, sebab kita hidup di tengah dunia yang sudah tercemar, di dalamnya terdapat banyak sekali kejahatan, dan kita masih hidup di dalam darah dan daging. Realita hidup yang demikian juga dihadapi oleh para pejuang iman di sepanjang sejarah. Paulus sebagai hamba Tuhan yang sangat terkenal pun mengakui bahwa penderitaan, kesusahan, dan kesesakan hidup memang dialaminya, tapi di dalam dan melalui semuanya itu Tuhan memberikan “kenikmatan yang sejati”. Rasanya sulit untuk memahaminya. Sebab, ini adalah paradoks iman orang percaya.
Lalu, apa yang harus kita lakukan supaya tetap menaruh pengharapan pada Kristus, baik pada masa hidup saat ini maupun pada waktu mati? Kita perlu kembali pada apa yang Alkitab ajarkan terkait hal ini. Berdasarkan Roma 8:24-25 dan 1 Kor. 15:58, setidaknya ada lima hal yang perlu kita fokuskan, yaitu Kepercayaan, Ketaatan, Ketekunan, Kesabaran, dan Kesetiaan (5-K).
Kelima hal ini sangat bertentangan dengan natur diri kita sebagai manusia berdosa. Untuk itu, kita perlu sadar bahwa kelima hal tersebut hanya dapat diraih dan dimiliki oleh orang-orang yang memiliki iman yang sejati. Di luar itu, siapa pun tidak bisa menggapainya. Iman yang sejati membawa kita kepada kesadaran akan siapa diri kita dan siapa Allah. Dengan adanya kesadaran yang demikian, kita akan mengakui segala kerapuhan, kelemahan, keterbatasan, kekosongan, dan kebutuhan kita akan anugerah Allah. Serta membawa kita kepada spirit hidup yang takut akan Allah.
Sejujurnya, secara pribadi saya juga berharap supaya pandemik ini segera selesai. Ada kesedihan di dalam hati setiap kali mendengar dan melihat penderitaan yang dialami oleh banyak umat manusia pada saat ini. Namun, sebagai anakNya, saya juga percaya bahwa Allah juga prihatin melihat keadaan ini. Sekalipun mungkin dalam kemarahan dan murkaNya, Allah yang personal itu turut merasakan kesedihan umatNya. Lalu, sebagai manusia yang terbatas, saya juga kembali menyadari bahwa bagaimana mungkin pikiran saya yang terbatas dapat memahami pikiran Allah yang tidak terbatas? Ia mengatakan bahwa, “ JalanKu, bukanlah jalanmu, rancanganKu, bukanlah rancanganmu”. Apa lagi yang harus saya perdebatkan? Tidak ada.
Di tengah ketidakpastian, ketidakjelasan, dan kebingungan yang ada, saya hanya mengatakan, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini” (Markus 9:24).
Kiranya Tuhan memberikan iman yang sejati kepada kita, sehingga melaluinya kita dapat memiliki pengharapan yang sejati di dalam Kristus. Dan sebagai komunitas anggota tubuh Kristus, marilah kita saling bergandengan tangan, serta menjadi reflektor kasih Allah bagi orang lain. Mewujudkan cinta kasih kepada sesama melalui kehadiran kita sebagai jawaban atau solusi bagi mereka yang membutuhkan. Hadir memberi makanan, baik itu makanan jasmani maupun rohani. Hadir bagi mereka yang membutuhkan telinga untuk mendengar segala keluh kesah oleh karena penderitaan yang mungkin mulai menggoyahkan iman mereka. Hadir bagi mereka yang sudah mulai ‘hopeless’. Sekali lagi, kiranya konteks pandemik seperti sekarang ini dapat menjadi sarana bagi kita (komunitas PAKMKUSU) untuk melayani seperti Kristus melayani, dan mengasihi seperti Kristus mengasihi. Soli Deo Gloria..
Leave a Reply