Stille Nacht

Stille Nacht : satu malam hening di tengah pusaran derita yang memekak !

 

Shalom abang-kakak dan teman-teman alumni…

Rasanya tak mungkin ada di antara kita yang tak mengenal lagu “Malam Kudus”. Mengawali bulan Desember ini, saya ingin menyegarkan kembali ingatan akan Sitz im Leben (konteks) yang terjadi saat lagu ini ditulis dan dinyanyikan.

Ingatkah kita, ketika Perang Napoleon melanda Eropa? Seorang pastor bernama Joseph Franz Mohr saat itu sedang ditugaskan pada tahun 1815 di Mariapfarr, Lungau. Mohr memikul tugas yang teramat berat. Sebab Salzburg menjadi rebutan bagi Bavaria, Austria, dan Perancis. Akibatnya, tempat itu menjadi sangat lekat dengan kesulitan ekonomi dan kriminalitas. Umat Tuhan menderita.

Penderitaan pun bertambah dengan meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada bulan April 1815. Meski pun lokasi meletusnya di Nusantara, material yang dihembuskan gunung itu memicu anomali iklim Bumi secara dramatis. Sebuah surat kabar di Eropa menyebutkan tahun 1816 (dampak setelah letusan) sebagai The Year Without a Summer. Salju jatuh pada musim panas. Atau terkadang hujan deras turun bertubi-tubi membuat tanaman mati. Dicatat pula bahwa bantuan kepada orang miskin per Desember 1816 telah meningkat begitu tajam ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di Salzburg dan sekitarnya.

Di masa yang penuh kesulitan dan penderitaan, Pastor Mohr menuliskan sebuah puisi dengan enam stanza “Stille Nacht” yang kemudian digubah menjadi lagu yang begitu indah oleh Franz Xaver Gruber.

Lagu “Malam Kudus” ini tidak hanya dituliskan di tengah pusaran penderitaan. Lagu “Malam Kudus” ini pun banyak dinyanyikan di tengah kesulitan yang mendera. Satu kisah yang paling terkenal di antaranya ialah Malam Natal 1914. Tentara Jerman dan Inggris yang tengah bertempur siang dan malam akhirnya meletakkan senjata bersama-sama. Memberikan satu malam hening. Kedua pihak menyanyikan lagu “Malam Kudus” dengan air mata sambil mengingat keluarga dan melihat korban yang berjatuhan di sebuah tempat di Front Barat semasa Perang Dunia I.

Lagu “Malam Kudus” yang ditulis dan dinyanyikan di tengah bencana akan terus mengingatkan kita bahwa memang dunia ini teramat fana dan sangat sementara. Banyak yang mungkin merasa bahagia dan biasa-biasa saja di tengah pandemi menyelimuti dunia. Tapi marilah buka mata, jauh lebih banyak yang kehilangan harapan, kehilangan pekerjaan, mengalami kekerasan rumah tangga, dan kehancuran masa mudanya.

Dunia ini sungguh-sungguh lapar dan haus akan Penebus. Yesus Kristus harus turun dari Surga ke Dunia untuk mewartakan tahun rahmat Tuhan sudah tiba. Kita tidak akan di dunia ini selamanya. Ada satu tempat setelah zaman berakhir tidak ada lagi tangis dan kertak gigi akibat dosa yang menyiksa.

 

Malam Kudus, Malam Sunyi, Malam Hening, dan Malam Suci. Abang-kakak dan teman-teman Alumni, marilah kita ambil satu malam yang khusus untuk menepi. Merenungkan bagaimana tangan Tuhan sedang membawa arah zaman ini sesuai dengan nubuatan di dalam Kitab Suci. Tuhan Yesus Memberkati. -frh-