
Quo Vadis Politikus Kristen di Indonesia?
Oleh : Samuel Purba[1]
Diskursus politik dan agama di kalangan komunitas Kristen selalu menjadi bahan yang tidak pernah ada habisnya. Namun sepertinya sulit untuk serta merta menghasilkan pemahaman (alih-alih kesepakatan) bersama yang diikuti dengan aksi nyata yang berkelanjutan.
Pandangan sekularisme sepertinya masih dominan, bahwa agama dan politik tidak boleh disatukan. Agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan, sedangkan politik adalah sebuah sistem yang mengatur tata kehidupan masyarakat dalam sebuah wadah negara.
Demokrasi liberal yang kita jalankan saat ini memperkuat pandangan tersebut, dimana format negara sebagai negara hukum, yang mengandaikan persamaan dan kebebasan sebagai warga negara, dengan tidak melihat etnisitas, gender, agama ataupun identitas-identitas partikular lainnya.
Sekalipun demikian politik praktis yang terjadi sehari-hari begitu terlihat kasat mata, meskipun masih dilakoni secara malu-malu. Dalam kontestasi politik baik di pusat maupun daerah, oknum (jika keberatan disebut lembaga/komunitas) Kristen telah menunjukkan eksistensinya, baik maju sebagai calon kepala pemerintahan/legislasi maupun tim pendukung calon tertentu. “Jualan”nya cukup jelas, mendulang suara dari komunitas-komunitas Kristen.
Namun jika menelisik lebih dalam dampak apa yang dapat dirasakan masyarakat atas politik praktis tersebut, jawabannya masih jauh panggang dari api. Tanpa bermaksud sinis, tidak jarang hal yang dipertontonkan hanyalah pencapaian target jangka pendek yang bermuara kepada kepentingan diri dan kelompok, yang sayangnya erat dengan ambisi kekuasaan dan materi semata. Barangkali itu pula yang menambah kesan apatisme dan memperkuat ide sekularisme politik di kalangan Kristen. Lagi-lagi bahwa politik itu tabu, dosa.
Aspek lain yang cukup dominan adalah bahwa hampir dapat dipastikan bahwa umat Kristen di Indonesia sudah sangat bulat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Rasanya hampir tidak mungkin dalam komunitas Kristen berkembang pemikiran (apalagi gerakan) politik yang berniat mengganti Pancasila atau memisahkan diri dari NKRI. Kondisi ini membuat orang Kristen cenderung mendukung pemerintahan terpilih, siapapun dan dari latar belakang manapun.
Kebanyakan umat Kristen di Indonesia sepertinya masih “terbeban” dengan mentalitas politik minoritas, dimana pada saat kepentingan minoritas tetap dijamin oleh kekuasaan (misalnya kebebasan beribadah), umat Kristen sudah merasa cukup puas dengan kinerja pemerintah. Isu-isu pembangunan seperti kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, masih menjadi konsumsi segelintir kalangan Kristen saja, yang kemudian padam dengan sendirinya, bahkan sebelum sempat keluar dari “rumah”nya.
Meskipun dalam beberapa tahun belakangan ini, sentimen keagamaan semakin kuat mewarnai kancah perpolitikan di negara ini, umat Kristen tetap bergeming. Benih-benih kegelisahan warga gereja memang jelas terlihat, manakala menyaksikan semakin brutalnya manuver politik yang dipertontonkan. Demikian pula ujaran kebencian (hate speech) dan tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang masih kerap terjadi.
Namun gereja lebih memilih diam, atau minimal merasa cukup dengan menempuh jalur formal, lalu mempercayakan apapun hasilnya kepada penentu kebijakan, yang diyakini sebagai wakil Tuhan di dunia.
Pertanyaan lebih jauh adalah benarkah peran politik umat Kristen hanya sebatas memberikan suara ketika Pemilu, lantas bulat-bulat menyerahkan seluruh kebijakan yang mengatur kehidupan bermasyarakat kepada pemerintah? Benarkah umat Kristen belum sepenuhnya diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan negara, alih-alih menjadi mesin politik yang dapat mempengaruhi peta perpolitikan di Indonesia?
***
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kita mengenal ada banyak tokoh Kristen yang memiliki sumbangsih besar baik sebelum maupun pasca kemerdekaan. Sebut saja nama-nama besar seperti D.J. Leimena, Urip Sumoharjo, D.I. Panjaitan, Slamet Riyadi, Jamin Ginting, Adi Sucipto, MGR Sugijapranata, dan masih banyak lainnya.
Tokoh gereja atau organisasi Kristen juga banyak memberi sumbangsih pemikiran kenegaraan yang luar biasa. Sebut saja nama-nama seperti Romo Mangunwijaya, Eka Darmaputra, Romo Franz Magnis-Suseno, Andreas Y. Wangoe, Jonathan Parapak, dan masih banyak tokoh gereja lainnya. Namun hampir seluruh tokoh tersebut tidak terlibat langsung dalam politik praktis.
Umat Kristen di Indonesia sepertinya telah memilih peran dalam pembangunan kemanusiaan sebagai jalan berpolitiknya. Mereka mendidik anak-anak bangsa dengan berperan aktif di dunia pendidikan, kesehatan, dan sosial. Lalu bagaimana perannya dalam membangun demokrasi?
Negara demokrasi paling tidak ditandai dengan beberapa unsur utama, yakni: konstitusi, supremasi hukum, partai politik (parpol), pers, dan organisasi masyarakat (ormas). Peta dan konstelasi politik dalam negeri dipengaruhi oleh dinamika relasi yang dibentuk unsur-unsur tersebut, demikian juga permainan politik tidak akan jauh-jauh beranjak dari tatanan tersebut.
Rasanya tidak kurang banyak untuk disebutkan tokoh Kristen yang pernah maupun sedang duduk di pemerintahan, pers/media, ormas, maupun parpol. Namun sekali lagi, peran yang mereka mainkan jauh dari politik identitas, hanya beberapa yang terang-terangan membawa simbol identitas Kristen.
Partai politik Kristen memang beberapa kali menghiasi pertarungan politik dalam negeri, namun tidak pernah bertahan lama. Dimulai pada Pemilu pertama tahun 1955 dimana di sana terdapat Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Lalu di masa sistem otoritarian Orde Baru, tokoh-tokoh parpol Kristen banyak bergabung dengan kelompok/parpol dengan platform nasionalis.
Pasca runtuhnya Orde Baru, pada Pemilu Tahun 1999 diikuti oleh 3 (tiga) parpol Kristen. Namun di tahun 2004 hanya ada 1 (satu) parpol Kristen yang bertarung, yang akhirnya sama sekali hilang di pemilu-pemilu berikutnya.
Terlepas variabel apa saja yang membuat parpol Kristen sulit bertahan, saya melihat bahwa umat Kristen cenderung merasa belum begitu membutuhkan kendaraan politik praktis dalam perebutan kekuasaan. Umat Kristen sepertinya cukup yakin, asalkan selama calon pemimpin yang dipilih memiliki track record yang baik, maka kepentingan minoritas akan tetap diperhatikan.
Namun dampaknya adalah seperti yang kerap terjadi dalam banyak kasus, lalu menjadi kegalauan banyak pihak: umat Kristen seperti yatim piatu dalam politik. Tidak punya orang tua, tidak punya tempat mengadu atau saluran aspirasi, tapi hebatnya tetap berusaha sungguh-sungguh menjadi good boy-nya negara.
***
Sepertinya pandangan sekularisme dalam politik Kristen memang harus digali lebih dalam. Politik identitas adalah sebuah keniscayaan yang akhir-akhir ini semakin seksi di mata politisi. Fenomena yang sama juga terjadi di berbagai negara. Tokoh agama kini sudah tidak malu-malu lagi berdiri di belakang simbol-simbol kekuasaan.
Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, agitasi dan propaganda di media sosial adalah salah satu senjata utama dalam membentuk opini publik, yang bermuara kepada pilihan politik tertentu. Dan hal tersebut banyak digulirkan ke publik dalam bingkai isu agama dan primordialisme.
Sadar atau tidak, kondisi tersebut menyimpan potensi konflik yang tidak main-main pula. Jika isu politik identitas ini terus-menerus “dikipas” oleh para elit, maka sekam di dalamnya bisa menjadi api yang membara, yang dapat meluluhlantakkan bangunan nasionalisme yang sekian lama telah dibangun dengan susah payah oleh para founding fathers kita.
Inilah yang menjadi tantangan bagi para intelektual dan elit Kristen, yakni di satu sisi membangun kekuatan politik yang benar-benar cocok dengan kebutuhan umat, dan di sisi lain juga sanggup berkontribusi positif secara siqnifikan membentuk politik nasional yang menjunjung tinggi rasionalitas dan etika.
Tujuan yang hendak dicapai hendaknya tidak hanya dangkal pada kepentingan identitas dan kelompok Kristen semata, tetapi lebih jauh mampu berperan dalam menghadirkan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Dan hal itu mutlak harus dimulai dari perubahan pola pendidikan di rumah kita sendiri.
Saya tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam proses dan dinamika ini. Namun paling tidak dibutuhkan 2 (dua) syarat penting. Pertama, intelektual dan karakter yang berpijak kuat pada kebenaran, sehingga tidak mudah terombang-ambing dalam politik kotor; dan kedua, konsistensi pada nilai-nilai, strategi, serta jaringan politik yang tepat dan efektif.
Jika hal tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten, bukan tidak mungkin kelak umat Kristen akan menjadi komponen yang sangat diperhitungkan, tidak hanya dalam kontestasi politik, tapi juga dalam pengambilan kebijakan negara.
Namun seandainya kita masih enggan beranjak dari cara berpikir dan bertindak saat ini, maka debat-debat politik atau ketidakpuasan terhadap kebijakan negara, hanya akan menjadi diskursus yang sejenak bersarang, lalu tenggelam dalam percakapan-percakapan semu di ruang publik, sebagaimana yang telah saya singgung di awal [.]
Jakarta, Oktober 2020
[1] Alumni FISIP USU dan Magister Studi Pembangunan ITB. Terlibat dalam Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) Medan.
Leave a Reply