
Perlunya “Menggarami” Demokrasi
Di dalam tulisannya, Fukuyama memberikan kesimpulan bahwa; sejarah kehidupan manusia merupakan suatu proses evolusi, dan akhirnya liberal demokrasi berdiri kokoh sebagai bentuk final dari wujud pemerintahan di seluruh dunia (Fukuyama, 1992). Intinya, Demokrasi dianggap hadir sebagai pemenang, mengalahkan semua bentuk pemerintahan apapun di dunia. Demokrasi dalam hal ini, secara sederhana telah diuraikan Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika, sebagai bentuk pemerintahan; dari, oleh dan untuk rakyat saja.
Alih-alih mengagungkan Demokrasi, sebenarnya para filsuf Yunani Kuno memandang sebelah mata wujud pemerintahan Demokrasi. Mereka lebih mendambakan seorang “Raja Filsuf” atau Philosopher King, dengan sederet pengetahuan yang mumpuni, untuk dapat memerintah dengan bijaksana (Ahmad Suhelmi, 2001). Nyatanya, keadaan ideal dengan menghadirkan seorang manusia biasa, dengan sederet program pelatihan untuk menjadikannya bijaksana, tidak pernah benar-benar berdampak signifikan terhadap progresifitas umat manusia di Bumi. Kekaisaran Romawi bukti-nya, sekalipun setiap generasi, calon penerus kaisar mendapatkan bijaksana dari para filsuf terkenal di zamannya, sayangnya mayoritas Kaisar Romawi tumbuh menjadi diktator ulung. Sebut saja; Kaisar Agustus, Tiberius, Caligula, Nero dan lain sebagainya (Wilujojeng D., 2020). Mayoritas terjebak di dalam dosa; nafsu daging, harta dan tahta.


Di sisi lain, Demokrasi modern seperti saat ini, tidak serta merta menarasikan cerita-cerita heroik dan keindahan rill yang selalu dapat dinikmati masyarakatnya. Demokrasi justru menempatkan masyarakat, layaknya berada di dalam “kamp konsentrasi”, seperti dikatakan filsuf Italia, Giorgio Agamben. Sehingga, sama seperti para ilmuwan politik kebanyakan, Agamben juga berpandangan tidak jauh berbeda memandang demokrasi. Bahwasanya,
di dalam politik, semua sistem itu sama-sama “busuk”. Tidak ada yang ideal. Entah itu; Monarki, Oligarki, Aristokrasi, Tirani dan Demokrasi. Seluruhnya sama-sama jahat! Namun bagi Agamben, di dalam Demokrasi, terdapat sedikit keuntungan: a lesser evil ( A. Setyo Wibowo, 2020).
Di dalam pemikiran Giorgio Agamben (1942 – sekarang), Demokrasi memiliki bahaya laten yang seringkali menghancurkan kesejahteraan masyarakat awam. Pemilik otoritas dan power, seringkali (sengaja) membuat keadaan menjadi serba darurat, sehingga rakyat tidak memiliki pilihan lain selain harus; tunduk dan taat pada penguasa. Contohnya, demi menjaga kepentingan nasional dan strategi geopolitik, akhirnya Rusia mengumumkan keadaan darurat untuk segera menginvasi Ukraina. Rakyat Rusia tidak memiliki pilihan lain, selain harus taat pada Pemerintah. Kebebasan informasi di dalam keadaan yang demikian, berubah menjadi ruang untuk tarik-menarik kepentingan, demi memuluskan keinginan pihak tertentu an sich. Tidak lagi berlandaskan kepentingan bersama.


Demokrasi yang digadang-gadang akan melahirkan prinsip-prinsip; berkuasanya hukum (rule of law) dan penegakan hukum (law enforcement), jusru menjadi lemah pada titik instansi dan aktor pelaksana mekanisme hukum itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kritik Giorgio Agamben sebelumnya terhadap Demokrasi (A. Setyo Wibowo, 2020). Di dalam keadaan terkini di Indonesia misalnya, bisa kita saksikan, tragedi “polisi tembak polisi” yang telah disaksikan masyarakat, beberapa minggu terakhir. Kasus yang melibatkan Brigadir J. (Alm.), Baharada E dan seorang Jendral Polisi. Aparat penegak hukum sendiri, justru memiliki persoalan serius di internalnya, terlebih untuk menyadarkan masyarakat untuk taat hukum. Masyarakat jelas menjadi krisis kepercayaan terhadap hukum.

Tidak jauh berbeda dengan masyarakat penganut Demokrasi. Tidak serta merta sistemnya saja yang bermasalah.
Namun sebenarnya, masyarakat yang berada di dalam ruang Demokrasi, perlahan mulai ikut ditarik ke dalam jerat pusaran kemajuan zaman.
Seperti yang dikemukakan filsuf feminist bernama; Hannah Arendt (1906-1975) di dalam pandangannya soal modernitas. Bagi Arendt, di era modernitas, sebenarnya telah terjadi the rise of the social. Maksudnya, semua hal telah berubah menjadi objek produksi dan konsumsi. Sehingga, komersialisasi menghancurkan batas antara ruang publik dengan ranah privat di dalam masyarakat. Ruang privat telah menjadi ruang publik, dan ruang publik telah menjadi ruang privat akibat pengejaran atas kapital (komersialisasi) (Antonius Steven Un, harian Jawa Post, 2022).
Sederhananya, bisa kita saksikan di media sosial.
Manusia tidak lagi mengenal rasa malu. Hal yang selama ini tabu untuk diperlihatkan, kini menjadi hal yang wajar untuk di-share ke ruang publik. Demi mendapatkan keuntungan kapital, popularitas, dan lain sebagainya, berita-berita palsu, informasi penuh sensasi atau bahkan aib masyarakat akhirnya banyak bertebaran di ruang publik.
Akibatnya, moral masyarakat ikut tergerus. Intelektualitas perlahan tergantikan dengan sensasi dan pengenalan yang dangkal, karena adanya keinginan untuk mencari nikmat secara instan. Sungguh berbahaya!
Menggarami Demokrasi
Dari penjelasan sebelumnya, bisa kita saksikan bahwa, Demokrasi-pun memiliki persoalan yang cukup kompleks. Namun demikian, masyarakat di dunia termasuk di Indonesia, mayoritas telah memutuskan, untuk menjadi penganut bentuk pemerintahan Demokrasi. Seperti konklusi yang dikemukakan Fukuyama, di dalam bukunya berjudul; The End of History and The Last Man (1992).

Jika melihat gambaran di dalam Alkitab, sebenarnya praktik Demokrasi ada dinarasikan. Dan Tuhan menghormati keputusan masyarakat, yang telah menjalankan praktik Demokrasi itu. Bermula, kala Rakyat Israel menyampaikan keinginannya kepada Tuhan, untuk mengubah sistem politik, lewat pemilihan seorang Raja atas seluruh Israel. Berkat keinginan masyarakat Israel, maka Saul akhirnya ditetapkan sebagai raja atas Bangsa Israel (1 Samuel 10:17-27). Dari kisah ini bisa disaksikan bahwa, bibit Demokrasi sebenarnya mulai terlihat di dalam Kekristenan. Sekalipun praktik Demokrasi pernah terlaksana di dalam Alkitab, dan akhirnya terlaksana secara komprehensif hingga sekarang ini lewat perjalanan sejarah yang rumit. Namun, perlu diingat pula bahwa, praktik Demokrasi sekalipun diizinkan oleh Tuhan namun sebenarnya hal ini dikehendaki Tuhan, untuk boleh dilakukan dengan catatan bahwa, Allah yang sejati tetap memiliki otoritas mutlak di dalam praktik Demokrasi itu sendiri. Sehingga, dengan demikian, untuk seterusnya Israel berada di jalur yang benar sesuai pimpinan Tuhan.
Di tengah pesimisnya Giorgio Agamben melihat demokrasi, sebenarnya di dalam Demokrasi sendiri terdapat hal yang luput di dalam perhatian Agamben, yakni: adanya ruang dialog dalam praktik Demokrasi. Ruang inilah yang seharusnya dimanfaatkan demi kepentingan bersama. Seperti kritik Dr. A. Setyo Wibowo terhadap pemikiran Agamben, di dalam artikelnya berjudul: Demokrasi Sebagai Kamp Konsentrasi: Giorgio Agamben, Filsafat Politik dan Kritik (2020). Menurut Dr. A. Setyo Wibowo, sebenarnya ruang Demokrasi memiliki ruang dialog di dalamnya, sehingga setiap pihak sama-sama dapat menentukan apa yang berkenan bagi kepentingan bersama. Di titik ini, terlihat bahwa
Demokrasi sebenarnya menghadirkan ruang untuk saling menebar pengaruh. Orang Kristen harus peka dan berdampak maksimal di dalam hal ini.
Pasalnya, orang-orang percaya, yang telah ditebus oleh Kristus Yesus dikatakan oleh Kristus sendiri memiliki identitas layaknya “garam dunia” (Matius 5:13). Garam itu memberikan pengaruh, bukan dipengaruhi oleh dunia. Garam bersumber dari lautan. Identitas garam, tidak lepas dari persekutuannya dengan sesama garam lainya di dalam lautan luas. Kemudian, ketika garam itu diutus keluar laut, dia harus dijemur dulu dengan panasnya terik. Dia siap diuji oleh zaman, tanpa kehilangan identitas aslinya. Lalu kemudian, garam dibawa untuk memberikan rasa, demi memperlambat pembusukan dan tentu saja perannya sangat vital. Sehingga, garam kemudian dipergunakan di dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa garam, betapa hambarnya kehidupan manusia. Gambaran yang sama, sejatinya berlaku pula di dalam ruang demokrasi. Orang Kristen dipanggil Kristus untuk berlaku laksana garam yang siap menggarami panggung demokrasi.

Dari keadaan yang demikian, muncul satu pertanyaan, mengapa peran Orang Kristen diperlukan untuk menggarami dunia ?
Jawabannya cukup sederhana. Allah tidak memilih Bangsa Mesir, Bangsa Asyur, Bangsa Babilonia, Makedonia atau bahkan Bangsa Romawi sebagai Bangsa yang akan melahirkan keturunan Anak Manusia –“Mesias” penyelamat Dunia. Allah juga tidak memandang kekayaan, kemewahan atau bahkan harta dari bangsa-bangsa besar di dalam catatan Alkitab sebelumnya untuk menjalankan misi agung menyelamatkan umat manusia yang percaya pada Kristus.
Allah tidak memandang suatu bangsa karena kekuatan politik atau militernya. Melainkan, Allah memilih suatu bangsa kecil, yang sering kali menjadi korban jajahan atas bangsa-bangsa lalim lainnya, yakni bangsa Israel/orang Yahudi sesuai ketetapan dan kedaulatan Allah. Dan hal ini melambangkan kesetiaan Allah atas umat pilihanNya.
Namun demikian, memang pertama-tama kepada orang Yahudi rencana Allah dinyatakan, namun tidak hanya sampai disitu; Injil Keselamatan/berita tentang Kristus disebar pula selanjutnya di Yerusalem,Yudea tempat orang-orang Yahudi, juga kepada bangsa kafir di Samaria dan bahkan sampai ke-ujung bumi, atau dengan kata lain seluruh bangsa-bangsa di dunia direncanakan oleh Tuhan untuk beroleh keselamatan di dalam Kristus. Sehingga setiap bangsa dapat mendengarkan dan menikmati Injil Kristus (Kis 1:8).
Hal ini dilakukan pula agar, hadir suatu bangsa yang berkenan di hadapan Allah. Seperti doa syafaat yang dinyatakan Abraham kepada Allah atas rencana penghancuran Kota Sodom dan Gomora. Tuhan Allah mengharapkan ada setidaknya 50, 45, 40, 30, atau paling sedikit 10 orang benar atas Sodom dan Gomora. Naas, tidak ada orang benar sebanyak itu di sana. Dengan demikian, Sodom dan Gomora tidak memiliki pengharapan atas pertobatan karena kejahatan dan kebebalan hati mereka yang demikian mendukakan hati Tuhan, sehingga murka Allah dinyatakan dengan menghancurkan kedua kota itu (Kejadian 18:16-33).
Dari peristiwa Sodom dan Gomora, bisa kita saksikan bahwa, derajat perhatian Tuhan atas suatu bangsa, bukan serta merta berdasarkan kekuatan politik, kekayaan, pengaruh dan kecanggihan teknologi suatu bangsa. Hal yang paling diperkenan oleh Tuhan adalah, ada atau tidaknya orang benar di dalam suatu bangsa. Hal ini haruslah menjadi prinsip vital yang dipegang kokoh oleh seluruh umat manusia.
Ketika Injil Kristus secara leluasa bisa dinikmati setiap bangsa-bangsa di dunia, melalui pertobatan yang sejati maka, cepat atau lambat kesejahteraan ekonomi, perdagangan, intelektualitas atau bahkan medis boleh dirasakan setelahnya karena ada kejujuran, keteladanan moral dan hidup yang saling mengasihi sebagai buah dari pertobatan di dalam Kristus.
Sehingga, pilihan terakhir dan terpenting bagi setiap orang percaya, adalah berperan menyatakan Injil Kristus sesuai peran dan panggilan masing-masing.
Intinya, diperlukan kerinduan untuk menebarkan pengaruh, layaknya “Garam Dunia” entah dalam berbagai bentuk apapun itu, selama bermanfaat bagi sesama dan dapat menyatakan kemuliaan Kristus Yesus Tuhan Kita, sehingga setiap bangsa dapat bertobat dan menyadari bahwa hidupnya bergantung pada Kristus saja. Pekerjaan besar demikian tentu saja harus dikerjakan pula di panggung Demokrasi.
Akhir kata, selamat menjalankan panggilan Kristus bagi setiap kita. Dia yang memanggil dan Dia pula yang akan memampukan. Soli Deo Gloria!
*Penulis PKK FISIP USU, Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP USU

Leave a Reply