Pejuang Kristen di Indonesia

Oleh Ferdinand Hutabarat

Salam sejahtera, abang-kakak, dan rekan-rekan alumni..

Memasuki bulan Agustus 2021, menandakan kita memasuki bulan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dulunya, perasaan saya biasa saja bila merayakan Kemerdekaan Indonesia. Namun perasaan saya berubah menjadi bergembira setelah belajar di sekolah teologi. Di sekolah, saya baru tahu kalau kita back to ±800 M, sebelum Borobudur selesai dibangun, orang-orang Kristen di Nusantara sudah ada. Yang paling dekat dari Medan ada di sekitar pantai Sibolga, sisi pantai barat Sumatra Utara. Dulu sudah ada gereja Kristen Nestorian dari Persia. Semakin heran lagi, sebab saat itu saya baru tahu ada banyak orang Kristen yang juga mati-matian berjuang demi kemerdekaan Indonesia.

Saya sebutkan saja di sini dengan bangga nama-nama para pahlawan kita penganut agama Kristen, yang dalam tulisan Petrik Matanasi disebut “Pengikut Kristus untuk Kemerdekaan.” Mereka adalah Johannes Leimena, Alexander Jacob Patty, Johannes Latuharhary, Todung Sutan Gunung Mulia, Amir Syarifuddin, Gerungan Saaul Samuel Jacob Ratulangie (Sam Ratulangie), Tahi Bonar Simatupang, Frans dan Alex Mendur, Jahja Daniel Darma, Wolter Monginsidi, Pierre Tandean, Maria Walanda Maramis, Agustinus Adisucipto dan Yos Sudarso.

(Foto dari deret kiri atas :Johannes Leimena, Alexander Jacob Patty, Johannes Latuharhary, Todung Sutan Gunung Mulia, Amir Syarifuddin, Gerungan Saaul Samuel Jacob Ratulangie(Sam Ratulangie), Tahi Bonar Simatupang, Frans dan Alex Mendur, Jahja Daniel Darma, Wolter Monginsidi, Pierre Tandean, Maria Walanda Maramis, Agustinus Adisucipto dan Yos Sudarso)

Saya tidak tahu apakah alumni “zaman now” merasa biasa saja mendengar nama-nama itu. Rasanya mungkin tidak se-menggelora mendengar nama-nama artis Drama Korea atau pun Hollywood. Whatever!

Tentu yang membuat pikiran ini bertanya-tanya dalam kekagumannya adalah siapa sumber (dari mana? apa?) yang mempengaruhi pola pikir mereka sedemikian besar, sehingga mau berkorban bagi bangsanya? Hingga akhirnya kita bisa hidup tanpa ketakutan tiba-tiba ditembak seperti saat membaca Warta Alumni KMK saat ini? Ingat: di zaman mereka, sosial media tidak seramai ini! Mem-follow atau meng-email para ahli tata-nusantara yang berkompeten, rasanya mimpi. Membaca informasi, juga tidak semewabah air bah informasi saat ini.

Kita mungkin kurang percaya bila yang mempengaruhi mereka ternyata adalah gereja. Ajaran-ajaran gereja pada masa itu, entah bagaimana sedemikian alkitabiah, sangat relevan, dan begitu kaya. Gereja saat mengajarkan Kerajaan Sorga, juga mengajarkan panggilan warganya di tengah kerajaan dunia.
Artinya, apa yang menjadi panggilan kebangsaan kita sebagai warga negara Indonesia?

Bukankah panggilan Yudaisme di zaman Perjanjian Lama adalah panggilan kebangsaan juga? Panggilan itu seperti “core” atau inti dari seluruh panggilan bangsa Israel di PL. Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku (Imamat 20:26).

Panggilan Allah kepada bangsa pilihan itu adalah bangsa yang dipilih untuk menjadi gambar-rupa kekudusan Allah di tengah-tengah peradaban dunia saat itu (sembari menanti kedatangan Mesias).

Sayangnya mereka gagal. Nabi Ezra dan Nehemia kemudian teriak-teriak menyuarakan suara kenabian selepas dari pembuangan dan menuju pembangunan (tembok sebagai simbol marwah/dignity sebuah bangsa di zaman PL) bangsanya kembali di dalam kekudusan: Sin no more!


Jadi bagaimana abang-kakak, dan rekan-rekan alumni?

Adakah kita merasakan panggilan kebangsaan itu juga ada di setiap diri kita? Apa yang mau kita bangun di tengah bangsa Indonesia tercinta ini? Kemajuan teknologi tak ada artinya jika warganya hidup di dalam dosa ego pribadi. Kemajuan pendidikan tidak ada artinya jika warganya hidup dalam dosa kesombongan kognitif. Kemajuan ekonomi tidak ada artinya jika warganya hidup dalam dosa cinta uang.

Pahlawan kita, para pengikut Kristus untuk kemerdekaan, sudah menyelesaikan panggilannya pada tahap untuk memerdekakan bangsa kita dari penjajahan. Panggilan itu harus diteruskan ke tahap lanjutan seperti yang Allah tentukan. Tidak hanya merdeka ragawi, tapi sampai pada kemerdekaan jiwani.

Saya kira ini pesan yang tersembunyi dari lagu Indonesia Raya, karangan W.R. Soepratman. Coba kita singkapkan lirik lagu “Indonesia Raya” orisinil dengan 3 Stanza (versi 3 stanza lebih sering dinyanyikan sebelum merdeka, namun lebih sering diyanyikan 1 stanza setelah merdeka). Pada stanza 1, setelah lirik (dinyanyikan seperti sebuah doa) hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsa rakyatku, semuanya, langsung dilanjutkan dengan bangunlah jiwanya. Pada stanza 2, sadarlah hatinya, sadarlah budinya. Pada stanza 3, s’lamatlah rakyatnya, slamatlah putranya (putra-putri bangsa Indonesia).

Mengagumkan bukan? Bahwa W.R. Soepratman tidak hanya mendambakan kemerdekaan geo-politis. Tapi juga kemerdekaan jiwa, hati, budi, dan pada akhirnya keselamatan seluruh warga-negaranya. Dari mana W.R. Soepratman terinspirasi akan tujuan kekal ini? Upss, ternyata W.R. Soepratman juga seorang pengikut Kristus (agama Katolik) yang dipakai oleh Tuhan. Saya amini ia diinspirasikan oleh Roh Kudus. Saya amini Allah Tritunggal terus bekerja, dari dulu hingga kini, untuk bangsa Indonesia yang kita cintai. Keselamatan bagi seluruh rakyat Indonesia!

Semuanya dimulai dari langkah kecil-besar yang bisa kita arungi. Seperti rekan-rekan kita yang mengisi Warta Alumni setiap bulannya.
Mari menggali lagi panggilan Allah kepada kita di tengah bangsa ini. Hingga nanti kita mencapai tujuan Ilahi, yaitu keselamatan bagi umat di atas tanah bumi pertiwi. Merdeka..!!!

Tuhan Yesus Memberkati.
Ferdinand Hutabarat.