
Pancasila dan Iman Kristen
Terlahir di bangsa Indonesia sejatinya menjadi anugerah pemberian Allah yang layak kita syukuri. Indonesia yang pluralis memberikan warna dalam kehidupan Masyarakat. Bangsa yang mempunyai kurang lebih 1340 suku, 652 bahasa, 6 agama dan banyak aliran kepercayaan dan sekitar 270 juta jiwa.
Bangsa ini memiliki sejarah yang panjang sebelum memperoleh kemerdekaan. 01 Juni 1945 merupakan sebuah momentum yang menjadi tonggak penting kemerdekaan Indonesia. Tanggal 01 Juni 1945 menjadi hari lahirnya dasar negara Indonesia yang kita sebut dengan “Pancasila”. Pancasila adalah pernyataan tekad persatuan para Founding Father bangsa ini dari musyawarah yang panjang di tengah perbedaan ideologi, kepentingan golongan, suku, agama dan lainnya. Hingga saat ini, Pancasila menjadi ideologi yang tetap kita kumandangkan dalam berbangsa dan bernegara.
Pertanyaan yang kembali muncul adalah apakah semangat Pancasila ini masih semakin melekat kuat atau justru semakin tergerus di masyarakat saat ini bahkan bagi kita sendiri? Intoleransi, Korupsi-Kolusi-Nepotisme, sikap individualis, eksklusivisme di tengah keberagaman, disintegrasi mungkin bisa menjadi indikator realisasi Pancasila di Indonesia saat ini.
Sebagai seorang pribadi Kristen sejatinnya kita harus semakin menyadari bahwa 5 sila yang ada dalam Pancasila begitu sejalan dengan ajaran-ajaran kekristenan. Dalam Matius 22:37-40 Yesus Kristus mengajarkan tentang hukum yang terutama. Perintah mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan akal budi (Keutamaan Allah dalam hidup seseorang) tentu sejalan dengan sila Pertama “Ke Tuhan-an yang Maha Esa”. Perintah untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (mengasihi tanpa memilih-milih dan sepenuh hati) sejalan dengan sila Kedua sampai sila Kelima yang mengajarkan insan yang beradab, bersatu, hikmat permusyawaratan dan keadilan bagi semua orang. Menyikapi hal ini harusnya Pancasila tetap kita pegang teguh di dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain memberikan perintah mengasihi, Yesus Kristus juga memberikan teladan yang nyata dalam merealisasikan kasih kehidupan di lingkungan yang berbeda. Kisah Yesus dalam Yohanes 4:1-43 didasarkan pada pandangan primordial orang Samaria tidak bergaul dengan orang Yahudi, begitu juga sebaliknya. Dalam kisah ini, Yesus mematahkan pandangan itu dengan terlebih dahulu memulai percakapan dengan meminta air kepada perempuan Samaria. Walaupun pada awalnya perempuan Samaria enggan, tetapi pada akhirnya itu menjadi awal keselamatan perempuan itu dan orang orang di sekitarnya. Jika pada akhirnya Yesus tetap memilih dengan pandangan tidak bisa begaul dengan orang Samaria tentu tidak akan ada pertolongan bagi dia bukan? dan bukankah harusnya terang hadir dalam kegelapan supaya ia bercahaya terang?
Dua perikop di atas bisa menjadi refleksi bagi kita tentang bagaimana sebenarnya kita sebagai seseorang yang sudah menerima anugerah keselamatan. Kisah di atas juga menjadi dasar bagaimana sebenarnya kita bisa hidup selaras di dalam masyarakat. Inklusif menjadi opsi yang paling tepat bagi kita sebagai seorang Kristen dalam hidup bernegara. Keterbukaan, sikap merangkul, menghargai perbedaan dan mengedepankan kasih sehingga terwujud peradaban yang damai tentu akan mendorong orang lain menemukan Kristus dalam hidup kita.
Bangsa Indonesia yang pluralistik ini bisa kita ibaratkan menjadi sebuah instrument musik, di mana perbedaan warna, jenis dan nada pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan sebuah harmonisasi yang indah. Sejatinya Allah juga menciptakan kita sedemikian rupa untuk hidup berdampingan menjadi sebuah bangsa yang bersatu dan berdaulat. Momen hari Lahir Pancasila ini bisa menjadi momen bagi kita semua untuk mengobarkan kembali semangat Bhineka Tunggal Ika yang diawali dengan mendoakan bangsa negara ini, berbuah dan berintegritas di pekerjaan, berdampak di lingkungan, mulai terlibat dalam aksi yang memberikan kontribusi bagi negeri dan mengedepankan toleransi. Pada akhirnya kita menjalankan perintah Allah dan juga menjalan pandangan Pancasila sebagai kewajiban seorang warga negara secara bersamaan. Hingga kemudian aksi nyata kita mewujudkan Pancasila bukan sekedar filosofi retoris saja, tetapi menjadi pandangan yang hidup bagi kita semua.
Leave a Reply