
Menjaga Kesehatan Mental Selama Pandemi
by. Erika Hotmaulina Sinaga ( Psikologi’08 )
Pandemi Covid-19 masih terus berlanjut dan tidak seorangpun mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir. Keadaan yang serba membingungkan, tidak pasti, dan perubahan yang terjadi secara cepat, telah menuntut kita harus segera mampu menyesuaikan diri dengan baik. Kita terus berusaha beraktivitas dengan memenuhi protokol kesehatan supaya tidak tertular virus.
Harus disadari bahwa pandemi ini tidak hanya mengancam kita secara fisik, tetapi juga secara mental. Mengapa? Karena semua orang tanpa terkecuali sedang mengalami dampak pandemi, dimana jutaan penduduk Indonesia telah mengalami goncangan ekonomi, keseharian lebih sulit karena anak-anak harus belajar di rumah dengan pendampingan orang tua yang juga bekerja, tidak bisa bertemu keluarga secara leluasa, tenaga kesehatan yang bekerja keras bertarung nyawa, bahkan aktivitas beribadah bersama juga ditiadakan.
Masing-masing individu memiliki respon berbeda tergantung kepada kesiapan secara mental. Sebagian kecil mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan baik, namun sebagian besar ternyata kesulitan dan sangat bergumul sehingga tidak jarang membawa individu kepada rasa takut dan kondisi psikologis yang jauh lebih berat.
Terlepas dari mampu atau tidak dalam menyesuaikan diri dengan situasi pandemi, setiap individu perlu menyadari dan mengakui dengan jujur bahwa situasi ini tidak mudah untuk dilalui. Mengakui perasaan khawatir dan takut bagaimana menghadapi kondisi selanjutnya dan ketidaksiapan untuk menerima realita hidup yang sulit. Namun sebagai orang percaya, sering sekali mengakui kegelisahan dan ketakutan yang dialami justru menjadi lebih sulit bukan?
Kita takut menyampaikannya secara terbuka karena kegelisahan dan ketakutan sering dikaitkan dengan iman yang lemah dan ungkapan ketidakpercayaan kepada Allah. Kita sering diingatkan oleh sesama orang percaya bahwa firman Tuhan di 1 Korintus 10:13 mengatakan: “ Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya”. Tuhan juga berfirman melalui Ibrani 13:5b: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”.
“Lalu mengapa masih gelisah dan takut, bukankah seharusnya bersandar penuh kepada Tuhan dan percaya bahwa Dia akan menyelesaikan semuanya dengan baik?” Secara pengetahuan dan logika, kita sangat memahami nas tersebut. Namun realitanya, ketakutan dan kegelisahan itu tetap ada dan kita sulit merasakan ketenangan yang utuh di dalam Tuhan. Sering sekali memang kita berusaha mengabaikan dan melanjutkan hidup seolah-olah tidak merasakan apapun. Tanpa kita sadari, hal ini justru menjadi pemicu terganggunya kesehatan mental.
Alkitab tidak mengajarkan bahwa iman yang lemah adalah sumber dari semua kekhawatiran dan ketakutan. Tidak bisa dipungkiri situasi pandemi yang kita hadapi saat ini bukanlah situasi yang mudah (2 Tim. 3:1), jadi sangat berpotensi menimbulkan kekhawatiran yang besar. Allah sendiri sangat memahami kondisi manusia yang sejak jatuh ke dalam dosa memiliki banyak keterbatasan dalam menerima dan menghadapi pergumulan kehidupan. Allah juga sangat memahami bahwa kesiapan manusia sangat berbeda satu sama lain, sehingga Ia tidak menuntut semua manusia harus memiliki respon yang sama. Kalau Allahpun mampu memahami dan menerima, mengapa kita saling menghakimi?
Munculnya rasa gelisah, khawatir, marah dan emosi lainnya tidak selalu menjadi bukti bahwa iman kita lemah. Semua emosi tersebut hadir secara otomatis sebagai cerminan dari apa yang dirasakan. Sebagai manusia, sisi kemanusiaan diri membutuhkan ruang untuk mengekspresikan semua perasaan seperti takut, gelisah, khawatir, marah, sedih, kecewa, karena memang nyata adanya. Mengekspresikan emosi dengan cara yang efektif sangat baik untuk kesehatan mental kita. Dengan mengakui semua perasaan tersebut, kita mampu untuk menghadapi, mengendalikan dan mencari solusi yang lebih efektif ke depannya.
Dalam proses mengenali emosi dan respon terhadap setiap permasalahan hidup, kita akan semakin menyadari betapa diri tidak berdaya di hadapan Tuhan. Pengenalan akan diri yang semakin baik akan menolong kita untuk mengenal Allah dengan semakin baik pula. Kekuatan Tuhan menjadi semakin nyata dan kita mampu menyerahkan seluruh hidup kepadaNya. Menyadari bahwa tidak mampu untuk mengandalkan kekuatan sendiri dalam masa sulit ini akan menghasilkan iman yang justru semakin bertumbuh dan mental semakin kuat dalam menghadapi tantangan hidup berikutnya.
Akan tetapi, akibat kekhawatiran yang berkepanjangan, iman dan kepercayaan kita kepada Allah bisa semakin lemah dan akhirnya hilang. Maka dari itu kita juga tidak bisa terus menerus bersembunyi di balik pemahaman bahwa manusia terbatas sehingga wajar merasa takut. Allah menginginkan kita untuk belajar menghadapi dan mengatasi semua ketakutan tersebut bersama dengan Allah sehingga kita semakin dekat dengan Dia. Proses pertumbuhan iman akan membawa kita kepada kedewasaan dan pengenalan yang lebih dalam terhadap Allah.
Dalam proses pertumbuhan iman ini, komunitas rohani juga memiliki peranan yang sangat besar. Komunitas rohani seharusnya menjadi tempat yang aman untuk mencurahkan seluruh beban perasaan dan pikiran, dimana kita diterima sepenuhnya dan mendapatkan dukungan yang tulus. Namun tidak jarang komunitas rohani justru sulit menerima kalau individu merasa ketakutan dan mengalami masalah mental. Alih-alih mendapatkan dukungan, mereka justru mendapatkan penghakiman dari saudara seiman.
Untuk itu, komunitas orang percaya perlu diperlengkapi dengan kesadaran dan pelatihan dasar mengenai kesehatan mental. Supaya dapat memberikan arahan dan pertolongan yang tepat jika ada jemaat yang mengalami masalah kesehatan mental selama pandemi. Jika jemaat mengalami kecemasan, ketakutan, kepanikan yang berlebihan dan sudah mulai mengganggu fungsi hidup sehari-hari, segeralah mencari pertolongan kepada ahlinya seperti psikiater, psikolog dan konselor. Sehingga jemaat bisa diberikan pertolongan secara tepat dan mampu untuk melanjutkan fungsi hidup seperti biasa.
Di atas semuanya, kita memiliki pengharapan di dalam Yesus Kristus. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi Ia tahu dan mengontrol semuanya. Kita tidak mampu dengan kekuatan sendiri, tetapi Tuhan mampu. Faktanya, kita tidak sendirian dalam menjalani masa sulit ini. Ia berjanji untuk menyertai, dan Ia sedang memenuhi janjiNya. Mari memanfaatkan momen ini untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggantungkan seluruh harapan kita hanya kepadaNya.
Amin
Leave a Reply