Mengasihi dengan Mengampuni

“Sekarang kita harus gimana?” Suara di ujung telepon terdengar sangat lirih dan putus asa.

       Itu adalah suara Mamak yang menelpon aku. Mungkin sekitar 6 tahun yang lalu, saat aku masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat 2 di Universitas Sumatera Utara. Beliau menangis dan aku hanya bisa diam serta ikut menangis pula, aku bahkan tidak tau harus memberikan kata-kata penghiburan seperti apa. Masalah yang sama sekali tidak pernah kami duga. Hal ini bermula ketika beberapa orang debt collector dari sebuah Bank datang ke rumah kala itu. Mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka bahwa kami harus membayar utang sebesar 100 juta. Sebenarnya itu bukan utang keluarga kami, namun Paman ku (Adik dari Mamak) meminjam sertifikat rumah kami sebagai jaminan untuk melakukan pinjaman ke Bank beberapa bulan yang lalu sebagai dana untuk modal usaha. Tapi ternyata usaha beliau bangkrut dan tidak sanggup membayar cicilan ke bank. Pamanku pun sudah kabur dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Tentu saja kedatangan debt collector itu mengagetkan kami semua, karena ada persyaratan kalau kami tidak meneruskan membayar cicilan utang tersebut maka pihak Bank akan menyita rumah kami.

       Sejak Bapak meninggal, keluarga ku hidup pas-pasan dari gaji Mamak yang adalah seorang PNS. Tidak berlebihan namun tidak bisa aku bilang sangat kekurangan. Terbilang cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari, dimana aku dan adikku masih kuliah pada masa itu. Beberapa hari kemudian, aku pulang ke rumah untuk mendiskusikan masalah ini dengan Mamak. Jujur, aku dan keluarga sangat kecewa dengan Paman ku. Aku dan keluarga juga sangat terluka, khususnya Mamak yang merasa dikhianati oleh orang terdekatnya. Pamanku dan keluarganya sama sekalli tidak bisa terlacak keberadaanya, beberapa kabar yang kami dengar mengatakan bahwa Pamanku dan keluarganya sudah pindah rumah dan istri Pamanku juga sakit akibat kebangkrutan usaha mereka. Mustahil rasanya untuk mendesak mereka membayar cicilan utang tersebut dengan kondisi mereka yang juga sangat terpuruk. Akhirnya aku dan Mamak bersepakat untuk membayar cicilan utang tersebut dengan konsekuensi belanja bulanan yang dikirimkan Mamak kepada ku akan di potong. Baiklah pikirku, daripada Mamak jatuh sakit, mungkin ini jalan yang terbaik. Puji Tuhan, saat itu aku juga mendapat beasiswa dari sebuah yayasan sehingga aku masih bisa melanjutkan perkuliahan (Yes, Tuhan sangat baik J).

        Disaat diskusi dengan Mamak, ada kata-kata dan sikap Mamak yang sampai saat ini terus kuingat. Beliau berkata walaupun hatinya sangat sakit, Mamak mau memaafkan Pamanku dan memintaku untuk berdoa bersamanya. Doa kami supaya Pamanku dan keluarganya dalam keadaan baik dan kembali mencari Tuhan. Kebesaran hati Mamak untuk mengampuni mengingatkan aku tentang Kemurahan Hati Tuhan. Aku teringat akan Firman Tuhan yaitu Perumpamaan tentang Pengampunan dalam Matius 18 : 21-35. Tuhan kita telah berbelas kasih kepada kita, mengampuni bahkan melupakan kesalahan kita, apa hak kita untuk tidak melepaskan pengampunan kepada orang lain yang menyakiti kita? Saat itu aku pun meminta kepada Tuhan agar diberikan hati yang penuh kasih agar sanggup mengampuni sekalipun rasanya sakit sekali.

        Setahun lebih, Pamanku masih belum diketahui keberadaanya. Sampai suatu ketika, Kakak Perempuan Mamak meninggal dunia. Aku dan Mamak datang ke acara tersebut dan di depan gedung itu aku melihat Pamanku. Akhirnya Pamanku muncul dan menampakkan dirinya. Dan tebak apa yang terjadi? Pamanku langsung memelukku erat sambil menangis. Aku tau walaupun kata ‘maaf’ tidak pernah keluar dari mulut Pamanku, hatinya pasti sangat menyesal. Aku pun membalas pelukan beliau dan menanyakan kabarnya. Mamak hanya bisa tersenyum haru melihat kami. Disaat itulah aku mengerti betapa besar artinya pengampunan dan bagaimana pengampunan bisa memulihkan hati yang terluka. Sekarang kita memasuki Bulan Februari. Bulan yang selalu disebut-sebut sebagai Bulan Kasih Sayang. Banyak tradisi ataupun kebiasaan yang mungkin kita lakukan, seperti memberikan bunga, ucapan, coklat atau kado lain untuk orang-orang yang kita kasihi. Itu baik, tidak ada yang salah dengan hal itu. Lakukanlah, jika itu memang berasal dari kerinduan hati kita dan dapat menyenangkan hati orang-orang yang kita kasihi. Namun, dari pengalaman yang aku ceritakan tadi, aku belajar bahwa bukti terbesar dari Kasih ialah Pengampunan. Sama seperti Kristus yang menunjukkan Kasih-Nya dengan mengampuni kita manusia yang berdosa. Karena dosa, kita manusia sering sekali saling menyakiti, bahkan terkadang tanpa menyadari dan tidak ada niat sama sekali tapi nyatanya sering kali perkataan atau perbuatan kita melukai orang lain. Ketika membaca tulisan ini, apakah ada orang yang terlintas di pikiran kita? Orang yang harus kita ampuni maupun yang telah kita lukai? Jika iya, di bulan yang penuh kasih sayang ini, marilah kita mengasihi dengan mengampuni. Tuhanlah kiranya yang memberikan Kasih-Nya di hati kita agar kita rela mengampuni seperti Bapa Surgawi kita.

Ohya, anyway, puji Tuhan sekarang Pamanku sudah lebih baik secara finansial dan kembali melanjutkan pembayaran cicilan utang tersebut. Yes, Our God is Good dan waktu-Nya tetap yang terbaik. Tuhan Yesus meberkati !