“Membangun Hubungan Yang Sehat di Masa Pandemi”

By: Jesima Natanael Samosir (Alumni POMK FKM USU)

Kata Pandemi saat ini menjadi sangat tren sekali. Bahkan semua orang bisa dengan lancarnya mengatakan pandemi, baik itu orang-orang yang ada didesa sekalipun. Saya jadi teringat ketika masih duduk dibangku perkuliahan tepatnya pada semester empat. Disitulah aku mendengar pertama kali kata pandemi. Kata pandemi digunakan untuk membahas frekuensi dan penyebaran penyakit. Hal ini saya dapatkan pada mata kuliah epidemiologi dasar. Pandemi yang berarti keadaan dimana suatu penyakit frekuensinya dalam waktu yang singkat memperlihatkan peningkatan yang amat tinggi serta penyebarannya telah mencakup wilayah yang amat luas. Pandemi saat ini belum diketahui kapan berakhir, bahkan organisasi kesehatan tertinggi didunia sekalipun tidak dapat memprediksikannya. Nah yang menjadi pertanyaannya adalah, kalaulah pandemi ini kita belum tahu kapan berakhirnya, apa sih yang bisa kita lakukan? Apa kita harus jenuh karena tidak bebas melakukan aktivitas seperti biasa sebelum pandemi ini?

 

Ketika menuliskan tulisan ini saya teringat akan satu tokoh Alkitab yang saya kagumi, namanya adalah nabi Nehemia. Bagi kita yang sangat sering membaca Alkitab pasti tidak asing dengan tokoh yang satu ini. Loh, apa hubungannya sih Nabi Nehemia dengan masa situasi pandemi ini? mari kita mengingat kembali kisah Nabi Nehemia. Nehemia seorang juru minuman raja dipemerintahan raja Artahsasta dimana keadaan Nehemia terbilang cukup baik dari segi tempat tinggal, perekonomian, jabatan pekerjaan, atau yang lainnya yang ia dapatkan. Namun pada saat itu saudara Nehemia dari Yehuda datang menjumpai Nehemia dan menceritakan bahwa kampung halamannya sedang dilanda kesukaran akibat dari penindas-penindas yang ingin menguasai daerah tersebut. Hal ini tentu membuat Nehemia sangat bersedih hati bahkan membuat dirinya sangat terpukul, bagaimana mungkin kampung halamannya tercinta sedang dilanda kesukaran dan pemberontakan dari orang-orang yang ingin menindas tempat tersebut. Bukankah seharusnya hati dan jiwa Nehemia menjadi sangat marah setelah mendengar hal tersebut? Mari kita melihat apa yang dilakukan Nehemia dalam Nehemia Pasal 1:4 “Ketika kudengar berita ini, duduklah aku menangis dan berkabung selama beberapa hari. Aku berpuasa dan berdoa ke hadirat Allah semesta langit,” sikap dan tindakan Nehemia menunjukkan betapa lemahnya hati Nehemia dan sangat tidak berdaya apa-apa. Hal ini dilihat sikap hormat dan ketaatan Nehemia kepada Allah Sang Pencipta yang mempunyai kuasa lebih dari apapun yang ada disemesta ini.

 

Mari sejenak kita merenungkan diri kita, apakah ketika kita pada saat pertama kali mendengar salah satu negara didunia ini yang menjadi tempat pertama kali munculnya pandemi covid-19, adakah kita datang kepada Tuhan dalam sikap tunduk berdoa kepada Tuhan? Bukankah seharusnya orang-orang yang berada dinegara tersebut adalah saudara kita juga? Sikap Nehemia yang berdoa dan berpuasa kepada Tuhan setelah mendengar kehancuran kampung halamannya adalah sikap yang seharusnya juga kita miliki, yaitu sikap memiliki keprihatinan serta memiliki kasih kepada sesama untuk saling mendoakan. Sikap Nehemia ini memberikan kepada kita bahwa segala sesuatu yang telah kita dengarkan haruslah kita datang terlebih dahulu kehadapan Tuhan. Tidak dengan gegabah untuk melakukan sesuatu, karena Nehemia tahu bahwa dirinya adalah lemah, Nehemia tahu bahwa dia punya Allah yang sangat kuasa yang dapat menolongnya. Kita bisa membaca kitab Nehemia bagaimana lamanya ia berdoa dan berpuasa kepada Tuhan. Nehemia tidak melakukan persiapan-persiapan teknis lainnya, Nehemia hanya melakukan tugasnya datang kepada Tuhan untuk berbicara dan menyampaikan segala kehancuran hatinya. Hingga pada akhirnya Nehemia mendapati jawaban doanya setelah sekian lamanya ia berdoa dan berpuasa. Bahkan perjalanan Nehemia untuk membangun kembali tembok Yerusalem yang sudah sebagian hancur dapat terselesaikan dengan waktu yang cepat. Hal ini tentulah buah dari ketaatan Nehemia kepada Tuhan dan menyerahkan segala sesuatunya terlebih dahulu kepada Tuhan.

Nah, balik lagi pada kondisi pandemi yang diawal dibahas. Saat ini kita pasti merasa kehancuran juga sedang ada didalam pikiran kita pada masa situasi saat ini. Bagaimana mungkin tidak, kalau kita mendengar sudah banyak saudara/i kita bahkan bisa saja kita sendiri yang mengalami dampak pandemi ini, baik itu dampak kesehatan, ekonomi, dirumahkan dari pekerjaan, kebutuhan financial yang lagi banyak untuk anak sekolah dan sebagainya. Lalu dengan kondisi seperti ini apakah kita menjadi orang-orang yang tidak mempunyai iman yang teguh? Seperti akan mengalami depresi, jenuh, menjadi orang yang paling susah, khawatir, dan lain sebagainya. Lalu apa yang harus kita perbuat? Sama seperti pertanyaan yang dituliskan diatas. Kalaulah Nehemia berjuang dengan iman yang ia punya dan keyakinan yang teguh akan tekad membangun kembali tembok Yerusalem dapat ia lakukan, bukankah kita juga dapat membangun kembali rasa percaya kita yang teguh kepada Tuhan kita akan kekhawatiran dimasa pandemi ini? Bukankah dimasa pandemi ini kita bisa semakin memperkuat hubungan kita kepada Tuhan? Bahkan bukankah dalam situasi masa pandemi ini kita bisa semakin memperkaya diri mengisi diri untuk mengenal Sang Pencipta kita?

 

Mari belajar dari seorang Nehemia yang dipakai Allah untuk membangun kembali tembok Yerusalem yang sudah hampir runtuh menjadi utuh kembali. Mari kita juga memberikan diri kita untuk dipakai Tuhan membangun kembali hubungan yang taat kepada-Nya sekalipun kondisi pandemi ini sangat membuat kita banyak khawatir akan segala sesuatu, tetapi ketika kita terlebih dahulu datang kepada-Nya maka segala jalan yang kita tempuh akan terjalani dengan baik. Mari terus menjadi orang-orang yang membangun tembok-tembok yang runtuh disekeliling kita, agar iman yang kita miliki tetap dibentengi oleh tembok yang dibangun Allah kepada kita. Tuhan memberkati.