
Keteladanan
Perbedaan pendapat tidak dapat dihindari dalam kehidupan nyata kita, perbedaan pendapat ini biasanya dapat meningkat menjadi pertikaian/perselisihan. Pengamatan subjektif saya, sulitnya menyelesaikan masalah pertikaian para pihak adalah bukan karena kurang pintar, tetapi karena kurangnya atau tidak adanya kerendahan hati. Menganggap diri paling tahu, paling berpengalaman, paling berkuasa, paling berjasa dan lain sebagainya. Kesediaan mendengar dan memahami menjadi sesuatu yang teramat sangat mewah. Tidak sedikit organisasi bisnis maupun pelayanan terganggu bahkan bubar karena salah seorang atau masing-masing menganggap diri sebagai orang yang paling penting dan perlu.
Demikian halnya ditengah-tengah keluarga, tidak jarang terjadi pertikaian antara anak dengan anak, antara anak dan orang tua, dan antara pasangan suami istri. Pertikaian itu hingga tingkat yang sangat memprihatinkan: perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Tidak ada keluarga yang imun dari keadaan ini termasuk keluarga yang berasal atau yang dahulunya dibina dalam pelayanan mahasiswa.
Kita – sebagai alumni yang pernah dilayani dan melayani di kampus – bisa saja dahulu sangat berapi-api, tetapi sekarang letih lesu, tidak berdaya, bahkan ‘lilinnya’ sudah padam. Kelihatannya tidak sedikit keluarga Kristen yang mengalami krisis keteladaan. Kenapa? Hal ini bisa saja terjadi karena kita tidak ‘tinggal’ didalam ‘pokok anggur yang benar’ (Yoh 15:1-8). Hubungan kepada Tuhan dan sesama menjadi tawar, mengabaikan hubungan pribadi dengan Tuhan; mengabaikan saat teduh atau pembacaan Kitab Suci. Kita tidak bersedia dibersihkan, sebaliknya mati-matian mempertahankan ego (baca: keangkuhan).
Padahal, kita pernah mengalami ‘jamahan’ Tuhan Yesus, mungkin kita pernah dengan menangis tersedu-sedu atau menyesali dan mengaku dosa-dosa kesombongan kita, memohon belas kasihan akan pengampunan dosa. Mungkin juga kita pernah menangis karena begitu sukacitanya mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yesus, yang telah memindahkan kita dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Kita terpesona dan kagum akan anugerah keselamatan yang diberikan dengan cuma-cuma. Tuhan Yesus yang mulia datang dengan hina agar kita yang hina jadi mulia. Dia telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Itulah sebabnya kita perlu terus belajar merendahkan hati kita dihadapan Tuhan, secara terus menerus memohon belas kasihan Tuhan agar hidup kita terus diperbaharui dari hari ke hari. Firman Tuhan dalam Filipi 2:1-11, memberi pelajaran bagi kita, agar semuanya berpusat kepada teladan Kristus yang telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Dalam konteks ini ada tiga kali kata hendaklah yang digunakan dan dalam KBBI kata hendaklah berarti seharusnya:
- Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia.
- Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga
- Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib
Bagaimanakah keluarga kita dapat meneladani Yesus dan mengaplikasikan tiga prinsip hendaklah yang diatas? Tidak ada cara lain kecuali kita tetap tinggal pada pokok anggur yang benar. Kita harus tetap melekat pada pokok. Dalam perikop pokok anggur yang benar dalam Yoh 15:1-8 ada 7 (tujuh) kali kata tinggal, hal ini dapat dimengerti sebagai penekanan dan kita pahami sebagai hal yang penting. Tuhan Yesus sendiri yang menyatakan tinggallah di dalam Aku, dan konsekwensi jika kita tidak tinggal di dalam Yesus adalah tidak dapat berbuah, dibuang seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan kedalam api lalu dibakar
Keteladanan adalah kata kunci dan harus dimulai dari diri sendiri. Kiranya kita dikenal oleh keluarga inti kita maupun keluarga besar kita sebagai orang yang mencintai Tuhan, sebagai orang yang takut akan Tuhan, orang yang meneladani Tuhan Yesus, dan melalui hidup kita Kristus dimuliakan. Oleh karena itu sesulit dan sesibuk apapun kita, jangan pernah mengabaikan hubungan pribadi dengan Tuhan. Jangan pernah mengabaikan pembacaan Kitab Suci dan kehidupan doa kita. Jikapun ada perbedaan ditengah-tengah keluarga, maka perbedaan bukanlah berkembang menjadi pertikaian atau perselisihan, tetapi melaluinya seluruh anggota keluarga secara bersama-sama dengan rendah hati mencari kehendak Tuhan dan mentaatinya. Sehingga jika ada yang berbuat salah, maka suami tidak perlu malu untuk meminta maaf kepada isteri, dan sebaliknya isteri kepada suami, demikian halnya antara anak dengan orang tua dan juga antara sesama anak.
Langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan keluarga adalah:
- Baca Kitab Suci dan Persekutuan Doa Keluarga. Tentukan jadwal membaca Kitab Suci setiap hari atas kesepakatan semua anggota keluarga, sekaligus sebagai persekutuan doa. Pastikan seluruh anggota keluarga memprioritaskan waktu yang telah disepakati. Sekiranya ada anggota keluarga yang tidak dapat hadir karena alasan tertentu, pembacaan dan persekutuan doa tetap dilaksanakan
- Mengembangkan talenta. Libatkan anggota keluarga dalam pelayanan menurut talenta dan keterbebanan masing-masing anggota keluarga
- Proyek ketaatan. Buat proyek ketaatan secara bersama-sama, dapat berupa menghapal dan menyanyikan lagu lagu dari Buku Ende setiap minggu satu lagu, atau membaca kitab suci secara terencana, dapat dilakukan dengan jadwal membaca keseluruhan Alkitab dari Perjanjian lama hingga perjanjian Baru, atau pembacaan seluruh kitab Mazmur, penginjilan, dll
Akhirnya, apapun yang kita lakukan muaranya adalah agar mempermuliakan nama Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam Yoh 15: 8, ”Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku”
Leave a Reply