Ada Apa Dengan Doa?

Oleh: Christin Natalia Siahaan

Doa bukan sesuatu yang asing bagi kita umat kristiani. Banyak praktik kehidupan yang dilakukan selalu diawali dengan doa. Dari kecil, kita sudah mendengar bahwa sebelum makan, tidur kita harus berdoa terlebih dahulu. Tanpa diberi penjelasan dan menyadari dengan benar esensi dari doa, kita tetap saja melakukannya. Karena kita tahu bahwa doa adalah cara kita berkomunikasi kepada Allah. Beberapa diantaranya, ada yang memahami doa sebagai nafas orang percaya. Bahkan, tidak jarang juga kita menyaksikan dan mendengarkan orang-orang yang mengalami perjumpaan dengan Allah ketika mereka sedang berdoa. Jika eksistensi doa sampai sedemikian, nyatanya tidak banyak dari antara kita menjadikan doa sebagai salah satu disiplin rohani yang menolong kita untuk terus bertumbuh. Doa hanya sebagai alat yang kita pakai untuk mendapatkan keinginan dan ambisi pribadi. Tidak berhenti di sana, doa sebagai formalitas untuk mengawali suatu kegiatan, dengan alasan banyak orang juga melakukan hal yang sama. Bahkan, dengan berani mengatakan bahwa tanpa doa, kita dapat memperoleh apa yang kita inginkan. Semua ungkapan yang sering kita lontarkan tentang doa sebenarnya dipengaruhi oleh pemahaman dan pengalaman kita dalam berdoa.

Penulis dalam artikel ini ingin menyajikan kepada kita, keberadaan yang sesungguhnya dari doa. Kita tidak sedang mendikte eksistensi doa, melainkan kita harus melihat perspektif doa dari sudut pandang Alkitab. Lewis Johnson, dalam tulisannya tentang The Necessity of Prayer mengatakan

We pray that as we consider the doctrine that concern prayer that Thou will minister to us from the word building us up in our most holy faith, edifying us and strengthening us, and motivating us toward the life of fellowship with Thee. We realize that we can ever really know anything about prayer until we pray.

Ungkapan Johnson merupakan salah salah satu inti dari khotbah Yesus di bukit. Ketika Yesus mengajar orang banyak tentang hal berdoa, Yesus mengatakan “…jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” Yesus mengajarkan banyak orang bahwa doa yang selama ini diperlihatkan kepada mereka tidaklah demikian yang sebenarnya.

Doa berbicara tentang relasi personal manusia dengan Allah. Relasi yang intim hanya dapat terjalin, jika kita mengenal Allah dengan benar. Pengenalan yang benar akan Allah memampukan kita memahami keberadaan doa yang sesungguhnya. Doa menjadi tempat di mana kita dapat bertemu Allah setiap hari. Bahkan selalu ada kerinduan untuk berjumpa dengan kekasih hati kita, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Dalam doa, kita dapat mengungkapkan isi hati kita kepada Tuhan dengan terbuka, tanpa kita harus merasa malu untuk mengakuinya. Pengakuan yang jujur akan membawa kita pada damai sejahtera. Justru realitas doa membawa kita kepada perubahan hidup yang secara berangsur-angsur.

Dalam kekristenan, berdoa bukanlah kegiatan rohani yang dilakukan apabila seseorang memiliki waktu untuk melakukannya. Berdoa juga tidak dilakukan apabila seseorang memiliki kebutuhan yang penting atau mendesak, untuk disampaikan kepada Allah, tetapi kemudian orang tidak pernah melakukannya kembali. Berdoa bukan juga suatu hal rutin tanpa nilai-nilai spiritualitas di dalamnya.

John Hesselink justru menyatakan hal yang sebaliknya bahwa “salah satu aspek terpenting dari kehidupan iman adalah doa”. Seseorang berdoa karena Allah telah menuntun dirinya kepada Allah sendiri, sehingga doa menjadi suatu relasi antara manusia dengan Allah yang di dalamnya roh manusia berkomunikasi, memohon, meminta, memuji dan mengakui keberadaan Allah yang transendental.

Maz. 27:4, mencatat bahwa Daud menyatakan keinginannya kepada Allah. sementara Daud berdoa untuk meminta hal yang diinginkannya, Daud juga mengaku bahwa tak satupun yang lebih baik daripada diam dalam hadirat Allah, menyaksikan kemurahan-Nya. Ketika Daud menyembah Allah di dalam hadirat-Nya, Daud berkata “jiwaku dikenyangkan” (Maz. 63:6). Inilah persekutuan yang terjalin dengan Allah di dalam doa.

Doa membawa kita kepada suatu realitas menyelaraskan dan tunduk kepada kehendak Allah. Selama manusia hidup, kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia bukan sesuatu hal yang menjadi nihil. Namun, orientasi doa mereka adalah mencari dan meminta kehendak Allah yang terjadi. Doa menjadi bagian pelayanan orang-orang percaya di tengah dunia ini. Doa orang percaya yang rindu melihat kerajaan Allah dibangun dan diperluas di muka bumi adalah sebuah doa untuk kemenangan pelayanan Kristen. Kita dapat belajar dari teladan doa Paulus yang selalu ditujukan untuk orang lain. Bahkan ketika ia meminta untuk didoakan, biasanya permintaanya adalah supaya dia dimampukan untuk melayani orang lain secara efektif.

Allah sendiri menjadi pusat kita dalam doa. Ketika memandang diri kita di dalam Kristus, keprihatinan akan diri sendiri menjadi berkurang, sedangkan kepedulian kita terhadap orang lain bergeser menjadi fokus utama. Ketika kita berdoa, realitas yang perlu kita sadari bahwa tidak ada satu pun yang kita katakan maupun lakukan memiliki harapan untuk berhasil, kecuali Allah sendiri yang memberdayakannya. Sama halnya ketika kita memberitakan kebenaran Allah, bukankah kita meminta Allah untuk memberdayakan ucapan kita dan mengubahnya menjadi lebih dari sekedar kata-kata di dalam doa kita?

Dennis McCallum dan Jessica Lowry dalam bukunya Organic Discipleship justru mengatakan bahwa

“sudut pandang yang berfokus kepada orang lain adalah satu tema pokok dalam pertumbuhan rohani yang sejati dan banyak pemikiran justru berawal dari doa”.

Bahkan doa paling efektif ketika itu bukan sesuatu yang kita lakukan sesekali, tetapi ketika itu adalah gaya hidup yang kita kembangkan. Untuk memiliki gaya hidup berdoa, kita dapat melihat teladan yang Yesus berikan selama hidup-Nya di bumi. Doa seperti yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya dalam Mat. 6:9-13, mengajarkan kepada kita untuk mengutamakan kepentingan kerajaan Allah hadir di dalam dunia ini. Orang-orang percaya dipanggil sebagai agen untuk menghadirkan shalom Allah di mana Allah menempatkan mereka.

Sebagai agen, berarti kita diperlengkapi untuk siap berperang melawan penguasa-penguasa jahat. Jika demikian, bukankah doa menjadi senjata yang seharusnya kita bawa kemana pun kita pergi? Bukankah kita sadar bahwa setiap hari adalah peperangan melawan kuasa si jahat?

Karena itu sudah semestinya setiap orang percaya, senantiasa berdoa, karena itulah yang dikehendaki oleh Tuhan (Luk. 18:1; 1Tes. 5:17; Ef. 6:18). Demikian, Paulus juga mengingatkan kita sebagai anak-anak terang dalam Ef. 5:14: “… Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu”.

“The Christian life is not a constant high. I have my moments of deep discouragement. I have to go to God in prayer with tears in my eyes, and say, O God, forgive me or help me”.

Billy Graham